Jumat, 12 September 2014

Jaka Ahmad yang juga dikenal dengan nama "Jack" adalah mahasiswa tunanetra asal Indonesia yang sedang kuliah S2 program Social Work di Universitas Flinders, Adelaide, Australia. Selatan. Salah satu hobi Jack adalah senang bepergian, dan berikut pengalamannya dengan seorang supir bis di Adelaide. 

Seperti di kota-kota lain yang pernah saya singgahi atau tinggal, di Adelaide saya juga suka berpergian sendiri, apalagi dengan menggunakan transportasi umum seperti bis atau kereta.

Sangat terbiasa dengan hiruk-pikuk lalu-lintas Jakarta yang semrawut membuat saya sangat cepat beradaptasi dengan lingkungan di Adelaide yang lebih teratur. Bayangkan saja, yang biasanya saya harus berlari, menghadang bis untuk menanyakan jurusannya, atau lompat dari bis ketika ingin turun dari bis yang tidak sepenuhnya berhenti, kini saya tinggal berdiri manis di pemberhentian bis dengan merentangkan tongkat putih saya dan bis pun akan berhenti dengan sukarela agar saya bisa menanyakan jurusan bis tersebut.

Suatu sore, ketika saya hendak pulang ke tempat tinggal saya, saya menaiki bis 720 ke arah kota dari Flinders Medical Center. Sebelum duduk, saya berkata pada supirnya, bahwa saya mau turun di bus stop 22. Biasanya saya duduk di kursi paling depan, yang merupakan kursi prioritas bagi penyandang disabilitas, ibu hamil atau lansia.
Jaka Ahmad sedang menunggu bis di Adelaide. (Foto: koleksi pribadi)

Namun kali ini saya duduk agak jauh dari supir. Bus berjalan dengan laju dan saya mulai asyik mendengarkan musik. Ketika sedang menikmati perjalanan sore tersebut, bis berhenti dan tiba-tiba sopir bis tersebut menyentuh pundak saya dengan pelan.

“Kamu seharusnya turun di stop 22, kan? Maaf, saya lupa… dan sekarang kita sudah di bus stop 18,” kata supir tersebut.

Dari intonasi suaranya, saya bisa menilai kalau dia memang merasa bersalah. Tapi saya sudah terlanjur kesal, jadi tanpa bicara, saya langsung berdiri dan berusaha untuk turun dari bis. Namun supir tersebut berkata pada saya.

“Kalau kamu turun di sini, kamu akan kesulitan menyebrang sendirian karena tidak ada jalur penyebrangan. Tapi biarlah saya bantu kamu menyebrang,” ujar supir tersebut sambil mengikuti saya.

Turun dari bis, sang supir kembali melanjutkan ”Atau kamu ikut saja sampai bus stop 16, karena di sana ada jalur penyebrangan dan kamu bisa menyeberang dengan aman lalu kamu bisa naik bis arah sebaliknya sampai di bus stop 22.”

Masih kesal dan tanpa berbicara padanya, saya kembali naik ke dalam bis, menyetujui usulannya.

Sampai bustop 16, supir tersebut menemani saya turun dari bis dan menuntun saya menuju jalur penyebrangan. Dia menekan tombol lampu penyebrangan dan menunggu bersama saya.

“Kamu sebaiknya kembali ke bis,” akhirnya saya berbicara padanya. “ Kasihan penumpang lain mereka bisa terlambat nanti.”

“Saya akan seberangkan kamu terlebih dahulu, baru nanti saya lanjutkan perjalanan saya,” dia pun menjawab.

Mendengar jawaban tersebut, saya mulai melunak dan merubah sikap saya, lebih berusaha menyembunyikan kekesalan saya karena kejadian tadi.

“Saya akan baik-baik saja. Saya bisa menyeberang sendiri. Jalur ini aangat aman untuk saya seberangi. Kamu tidak usah kuatir,” ujar saya mencoba untuk meyakinkan supir tersbeut. “Penumpang yang lain akan terlambat dan nanti kamu bisa dicomplain.”

“Tidak apa saya dicomplain, yang penting kamu selamat,” jawab dia pendek.

Saya sempat terperangah mendengar jawaban tersebut. Namun saya segera kembali meyakinkan supir tersebut untuk segera kembali ke bisnya namun tetap dia tidak beranjak dari posisinya. Lampu berubah hijau, dan kamipun menyebrang. Setelah itu, supir tersebut mengantar saya ke bus stop yang ada di dekat penyeberangan tersebut. Dia mengatakan bahwa ini adalah bus stop 16, dan semua bus yang melintas akan melewati bus stop 22. Saya pun berterima kasih padanya sebelum akhirnya dia menyeberang kembali.

Kurang lebih 10 menit saya berdiri di bus stop tersebut dan akhirnya sebuah bis pun merapat. Baru saja saya mau bertanya, tiba tiba supir bis tersebut berakta:

“Naiklah, saya akan antar kamu ke bus stop 22.”

Setengah heran, saya pun naik ke bis tersebut, dan kali ini saya duduk dekat supirnya.

“Bagaimana kamu tahu kalo saya mau ke stop 22?” saya bertanya pada supir tersebut.

“Supir 720 yang tadi kamu naiki, dia berkomunikasi dengan saya melalui radio panggil,” jawab supir tersebut santai. “Dia bilang kamu kelewatan dan berpesan pada saya untuk mengantar kamu ke stop 22.”

Saat itu saya tersenyum dan muncul perasaan salut yang tinggi terhadap supir 720 terseubt.

Saya ingat hal ini sering terjadi saat saya berpergian di kota-kota di Indonesia, di mana sopir atau kenek lupa menurunkan saya di tempat yang saya inginkan. Namun bila ini terjadi di Indonesia, perlakuan yang sering terjadi adalah mereka menurunkan saya di suatu area yang saya tidak kenal, lalu menuruh saya untuk menyebrang dan naik arah sebalikanya, tanpa membantu saya menyebrang.

Sering pula penumpang lainnya mengomentari “ lagian sih, pergi sendirian. Gak ditemenin aja?” atau “Ngapain sih pergi-pergi? Gak bisa orang rumah aja yang disuruh?” Kalo sudah demikian, biasanya saya hanya tersenyum kecut saja dan akhirnya terbiasa dengan komentar-komentar seperti itu. Namun terkadang ada juga supir atau kenek yang berbaik hati menyeberangkan saya terlebih dahulu, sebelum melanjutkan perjalanannya.

Oleh sebab itu, kejadian di 720 tersebut cukup membuat saya terkagum-kagum dengan perilaku orang Barat yang konon katanya cuek dengan orang lain.

0 komentar:

Posting Komentar